Buscar

Páginas

KESELAMATAN KERJA DALAM PELAYANAN RADIODIAGNOSTIK


BAB  I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang.

Pemeriksaan diagnostik radiologi telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari, terutama didalam penatalaksanaan klinis patient di dalam pelayanan kesehatan. Sejak ditemukannya sinar X oleh Roentgen pada tahun 1895 dan kemudian diproduksinya peralatan radiografi pertama untuk penggunaan diagnostik klinis, prinsip dasar dari radiografi tidak mengalami perubahan sama sekali, yaitu memproduksi suatu gambar pada film reseptor dengan sumber radiasi dari suatu berkas sinar-X yang mengalami absorbsi dan attenuasi ketika melalui berbagai organ atau bagian pada tubuh.
Perkembangan teknologi radiologi telah memberikan banyak sumbangan tidak hanya dalam perluasan wawasan ilmu dan kemampuan diagnostik radiologi, akan tetapi juga dalam proteksi radiasi pada pasien-pasien yang mengharuskan pemberian radiasi kepada pasen serendah mungkin sesuai dengan kebutuhan klinis merupakan aspek penting dalam pelayanan diagnostik radiologi yang perlu mendapat perhatian secara kontinu. Karena selama radiasi sinar-x menembus bahan/materi terjadi  tumbukan foton dengan atom-atom bahan yang akan menimbulkan ionisasi didalam bahan tersebut, oleh karena sinar-x merupakan radiasi pengion, kejadian inilah yang memungkinkan timbulnya efek radiasi terhadap tubuh, baik yang bersifat non stokastik , stokastik maupun efek genetik..
Dengan demikian diperlukan upaya yang terus menerus untuk melakukan kegiatan keselamatan dan kesehatan kerja dalam medan radiasi pengion melalui tindakan proteksi radiasi, baik berupa kegiatan survey radiasi, personal monitoring, Jaminan Kualitas radiodiagnostik. Ketaatan terhadap Prosedur kerja dengan radiasi, Standar pelayanan radiografi, Standar Prosedur pemeriksaan radiografi semua perangkat tersebut untuk meminimalkan tingkat paparan radiasi yang diterima oleh pekerja radiasi, pasien maupun lingkungan dimana pesawat radiasi pengion dioperasikan.
I.2 Tujuan
Tujuan Umum : untuk mengetahui sejauh mana tindakan proteksi yang dilakukan oleh pengguna radiasi pengion dalam  upaya mengurangi tingkat paparan radiasi yang diterima petugas radiasi dalam upaya pencapaian tingkat kompetensi mahasiswa.

Tujuan Khusus :

1.    Mampu melakukan upaya tindakan proteksi radiasi
2.    Mampu mengevaluasi tindakan proteksi radiasi yang telah dilakukan
3.    Mampu melakukan tindakan – tindakan perubahan tindakan proteksi kearah yang lebih baik efektif dan efesien.
4.    Mampu patuh dan taat untuk melaksanakan standar prosedur operasional peralatan radiasi, Standar Prosedur Kerja dengan Radiasi, Standar pelayanan Pemeriksaan Radiografi dan Standar prosedur Pemeliharaan Peralatan Radiologi.  
I. 3  Manfaat
Untuk Pekerja Radiasi : Menjaga, memelihara, serta meningkatkan derajat kesehatan dan keselamatan kerja dengan radiasi pengion.
Untuk Pasien    : Menghilangkan rasa khawatir / takut untuk dilakukan pemeriksaan radiologi, karena merasa dirinya akan selalu mendapatkan pelayanan radiologi yang bermutu.
Untuk Perusahaan : Produktivitas Tenaga Kerja dapat dipelihara, dipertahankan dan memungkinkan untuk ditingkatkan.
I.4  Ruang Lingkup. 
Karya Tulis ini disampaikan berdasarkan tinjauan pustaka, beberapa penelitian tentang pengaruh atau efek radiasi pengion pada tubuh manusia, baik itu pasien, pekerja radiasi maupun lingkungan, serta pengalaman selama bekerja sebagai pekerja radiasi di Instalasi Radiologi Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Poltekkes Jakarta II..

BAB  II
PERMASALAHAN
Undang-Undang No 10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran sebagai penyempurnaaan Undang Undang No 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom dimaksudkan agar dapat mengikuti perkembangan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia diberbagai bidang sehingga dalam pemanfaatannya dapat menjamin keselamatan pekerja, masyarakat maupun lingkungan hidup.
Dalam pemanfatan tenaga nuklir termasuk sumber radiasi pengion dibidang kesehatan khususnya dibidang pelayanan radiologi harus memiliki izin dan orang tertentu yang mempunyai kualifikasi kompetensi khusus yang telah teruji tremasuk didalamnya ahli radiografi ( Radiografer ). Hal ini disebabkan karena telah diketahui bahwa selain banyak manfaatnya, radiasi pengion memiliki potensi bahaya bila tidak dikelola oleh orang-orang yang profesional dibidang radiasi.
            Salah satu potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pemanfaatan radiasi pengion adalah timbulnya efek radiasi baik yang bersifat non stokastik, stokastik dan efek genetik yang mungkin timbul akibat pekerja radiasi mendapat paparan radiasi. Efek tersebut dapat berupa Radiation Sicknes, penyakit keganasan sampai timbul penyakit yang timbul pada keturunannya ( akibat timbulnya efek Genetik ) yang disebkan adanya penerimaan paparan radiasi eksterna dalam jumlah kecil namun diterima dalam jangka waktu yang lama.
            Oleh USEAC ( Unirted State Energy Atomic Commision ) tahun 1960 – 1968 dilaporkan bahwa efek yang timbul disebabkan adanya kecelakaan radiasi yang diakibatkan adanya kecelakaan radiasi dan secara rinci kecelakaan tersebut disebabkan oleh :
Kesalahan operator                         : 68 %
Kesalahan prosedur                       :   8 %
Kerusakan perlengkapan              : 15 %
Lain – Lain                                        :  9 %
Kesalahan Operator terperinci sebagai berikut :
            Tidak melakukan survey radiasi               : 46 %
            Tidak mengikuti prosedur                          : 36 %
            Tidak menggunakan peralatan proteksi  :   6 %
            Kesalahan manusiawi                               :   6 %
            Kesalahan menghitung paparan radiasi            :   6 %
Dari jenis kecelakaan yang terjadi antara tahun 1960 – 1968 ternyata jenis pekerjaan radiografi memegang rekor. Dari 152 kejadian kecelakaan ditemukan bahwa :
Jenis Kegiatan                                                         Jumlah Kecelakaan
                        Radiografi                                                                 59
                        Laboratorium                                                            44
                        Plant Operator                                                          28
            Perbaikan alat                                                          12
                        Kedokteran                                                                 3
                        Pendidikan                                                                 2
                        Kontruksi                                                                     2
                        Pengangkutan                                                           1
            Tidak diketahui                                                           1

            Dari 59 kecelakaan radiografi tersebut diperoleh bahwa kesalahan diakibatkan oleh :
                        Kesalahan operator                                                 40
                        Kegagalan prosedur                                                 5
                        Kerusakan perlengkapan                                      13
                        Lain – Lain                                                                   1
Dari 40 kesalahan operator diperinci sebagai berikut :
                        Tidak melakukan survey radiasi                           29
                        Tidak mengikuti prosedur                                        6
                        Kesalahan menghitung paparan                           3
                        Kesalahan manusiawi                                             1
                        Kerusakan perlengkapan                                        1
Dilihat dari hasil laporan tersebut ternyata bahwa tindakan atau kejadian kecelakaan radiasi yang terbesar adalah dibidang radiografi yang disebabkan oleh operator yang mengoperasikan peralatan / alat sumber radiasi dan akibat tersebut yang terbesar adalah disebabkan operator tidak melakukan survey radiasi dan tidak taat terhadap standar prosedur yang telah ditetapkan.
            Pekerja radiasi  merupakan pekerja / tenaga kesehatan yang selalu berada didalam medan radiasi pengion, karena selalu bekerja dengan pesawat sinar-X yang merupakan salah satu sumber radiasi pengion. Dengan demikian pekerja/tenaga kesehatan  mempunyai resiko terkena paparan radiasi selama melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan bidang radiologi, sehingga kemungkinan besar akan berpotendi mengalami  efek akibat pemanfaatan radiasi sinar-X.
            Dengan demikian timbulah permasalahan “ Apakah Radiografer  mampu meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja dengan radiasi pengion “ 

BAB  III
PEMBAHASAN
3. 1 Kerangka Teori.
Radiasi pengion adalah radiasi radiasi yang mampu menimbulkan ionisasi pada suatu bahan yang dilalui. Ionisasi tersebut diakibatkan adanya penyerapan tenaga radiasi pengion oleh bahan yang terkena radiasi. Dengan demikian banyaknya jumlah ionisasi tergantung dari jumlah tenaga radiasi yang diserap oleh bahan.
            Sedangkan jumlah tenaga radiasi yang diserap tergantung oleh Intensitas dan energy yang mengenai bahan. Pada pesawat sinar-X intensitas radiasi tergantung dari perkalinan antara arus tabung ( mA ) dan lamanya arus tabung mengalis dalam satuan second, sedangkan energi sinar-X tergantung dari pemakaian tegangan tabung yaitu beda potensial antara Anoda dan Katoda dengan satuan kV.
            Untuk setiap pemeriksaan radiografi selalu dipakai faktor eksposi yang menentukan intensitas dan energy sinar-X yang akan dipakai, dan hal ini tidak hanya tergantung dari tebal atau tipisnya organ yang akan diperiksa tetapi juga tergantung dari densitas / kerapatan bahan tersebut. Sehingga setiap organ apabila akan dilakukan pemeriksaan secara radiografi perlu ditentukan terlebih dahulu pemilihan faktor eksposi yang optimal.
Salah satu terobosan penting dalam teknik radiografi adalah ditemukannya kontak film screen system yang mampu mengurangi beban radiasi pada pasien sebesar factor ³100 jika dibandingkan dengan direct film radiography yang kemudian dikembangkan lebih lanjut  dengan metode computer radiography maupun digital radiography. Demikian juga kemajuan teknologi dalam produksi peralatan X-ray atau  X-ray tube yang sangat memperhatikan keselamatan radiasi pada saat ini merupakan sisi lain dapat mengurangi beban radiasi pada pasien secara significant dan perlu mendapat approval pengoperasiannya maupun pengontrolan yang ketat secara teratur selama pengoperasiannya oleh badan terkait (Bapeten).
Perkembangan Ilmu dan Teknologi yang pesat pada umumnya ditujukan untuk meningkatkan tyingkat paparan yang diterima oleh pasen dan pekerja radiasi serta lingkungan hidup. Karena dampak atau efek radiasi yang paling mungkin akan muncul yaitu kepada pekerja dan pasien.
3.2 Tindakan Proteksi Radiasi. 
Tindakan proteksi radiasi yang dilakukan tentunya merupakan tindakan proteksi radiasi terhadap paparan radiasi sinar – X, jadi merupakan tindakan proteksi radiasi eksterna, karena sumber radiasi berada di luar tubuh manusia. Sebelum menerangkan apa yang dimaksud dengan tindakan proteksi radiasi eksterna terlebih dahulu perlu diterangkan mengenai pengertian, filosopi / falasah dan tujuan proteksi radiasi.
Proteksi radiasi atau fisika kesehatan dan keselamatan radiasi adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan teknik kesehatan yang perlu diberikan kepada seseorang atau kelompok orang terhadap kemungkinan diperolehnya akibat negatif dari radiasi pengion.
 Adapun filosofi / falsafah proteksi radiasi adalah analisa atau perhotungan untung rugi yang harus mencakup keuntungan yang harus diperoleh oleh masyarakat bukan hanya oleh sesorang atau kelompok . Dengan demikian perlu diperhitungkan anatara resiko dan manfaat dari kegiatan yang menggunakan peralatan dan atau sumber radiasi pengion. Untuk proteksi radiasi ditentukan bahwa manfaat haruslah jauh lebih besar daripada resiko yang mungkin diperoleh oleh pekerja radiasi dan masyarakat. Untuk maksud tersebut filosofi / falsafah proteksi  radiasi menyatakan bahwa setiap pemanfaatan zat radioaktif dan atau sumber radiasi pengion lainnya :
Hanya didasarkan pada azas manfaat dan justifikasi. yang berarti harus ada izin pemanfaatan dari BAPETEN ( Badan Pengawas Tenaga Atom ).
Semua penyinaran harus diusahakan serendah-rendahnaya ( As Low As Reasonable Achievable – ALARA ) dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial dan dosis  equivalent yang diterima seseorang tidak boleh melampaui Nilai Batas Dosis ( NBD ) yang telah ditetapkan.
Adapun tindakan proteksi radiasi eksterna adalah tindakan untuk mengupayakan agar tingkat paparan radiasi yang diterima pekerja radiasi menjadi serendah mungkin. Untuk maksud tersebut perlu diperhatikan faktor-faktor utama proteksi radiasi yaitu :
Faktor Waktu
Besar Dosis atau tingkat paparan radiasi yang diterima seseorang yang sedang bekerja dengan laju dosis tertentu berbanding lurus dengan lama waktu ia berada ditempat itu.
Dt        = Do  x t           à Dosis  =  Laju Dosis  X Waktu
            Dt        = Dosis yang diterima
            Do       = Laju Dosis mula-mula
            t           = Waktu 
            Contoh :
            Seorang pekerja radiasi diizinkan menerima dosis sebesar 100 m Rem/minggu, berapa jam seminggu ia boleh bekerja dalam medan radiasi dengan laju dosis 10 mRem/Jam
            Dari Rumus :
            Dt                                = Do X t
            100 mrem/minggu   = 10 mRem / Jam X t
            t                                   = 100 mRem/minggu : 10 mRem /Jam
                                                = 10 Jam / minggu           
Dengan demikian berarti pekerja radiasi harus bekerja secepat mungkin bila bekerja dengan radiasi.
Faktor Jarak.
Paparan radiasi berkurang dengan bertambahnya jarak dari sumber radiasi secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :
Dr1 x r12          = Dr2 x r22  
Dr1                   = Laju Dosis pada jarak r1
Dr2                   = Laju Dosis pada jarak r2
            Dari rumus diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
            Jika Jarak diperbesar 2 kali maka laju dosis menjadi 1/22 lebih kecil, demikian pula bila jarak diperkecil 2 kali maka laju dosis menjadi 22 lebih besar.
Contoh :
Sebuah sumber radiasi sinar – x memberikan laju dosis pada jarak 2 m dari sumber sebesar 100 mRem/Jam, berapakah laju dosis pada jarak 4 m dari sumber radiasi.
Dari rumus    : Dr1 x r12                    = Dr2 x r22  
                          100 m Rem x 22       = Dr2 x 42
                          Dr2                            = 100 mRem x 42/22
                                                            = 25 mRem
Dengan cara lain : Jarak dari sumber diperkecil dari 4 m menjadi 2 m berarti diperbesar 2 kali, maka laju dosis menjadi lebih kecil 1/ 22  ( ¼ ) dari semula.        
Faktor Penahan Radiasi ( Perisai )
Proses atenuasi sinar-X terutama apabila mempunyai berkas sinar sempit dalam bahan pelindung sebagai bahan penyerap bersifat eksponensial . Laju Dosis radiasi sinar-X disuatu titik setelah melalui bahan penyerap dapat ditulis sebagai berikut :
Dt        = Do e-ut        
            Dt        = Dosis setelah melalui bahan penyerap
            Do       = Dosis mula-mula
            e          = Koefisien serap linear
            t           = Tebal bahan penyerap
Untuk ketebalan dari suatu bahan penahan radiasi tertentu dapat menyerap Intensitas radiasi menjadi setengah dari semula maka ketebalan bahan radiasi tersebut dinamakan HVL
                   Bila Dt = ½ Do
                 Maka rumus :
                   Dt       = Do-eut
                   ½ Do  = Do e-HVL
       ½ = e-HVL
                   -u.HVL    = ln ½
                 HVL                       = 0.693/u
Sehingga Rumus Dt = Do e-ut
Dapat ditulis sebagai :
                  – (093 .t )
     Dt = Doe -------------
                       HVL 
Dt = Do ( ½ ) t/HVT
Dt =  Do/ 2 t/HVT
Konsep HVL ini sangat berguna untuk menghitung secara cepat tebal bahan penahan radiasi yang diperlukan.
Umpamanya :
1.  Untuk mengurangi dosis menjadi setengahnya diperlukan bahan penahan radiasi setebal 1 kali HVL.
2.  Untuk mengurangi laju dosis hingga 1/4 atau ( ½ )2 diperlukan bahan penahan setebal 2 kali HVL, sedang untuk mengurangi dosis menjadi 1/8 atau ( ½) 3 diperlukan bahan penahan setebal 3 kali HVL.
Contoh :
Berapa tebal bahan penahan yang dibutuhkan untuk mengurangi laju dosis disuatu titik dari 160 mRem/jam menjadi 10 mRem/Jam ( diketahui HVL = 2 mm Pb ).
Laju Dosis dari 160 mRem menjadi 10 m Rem/jam, berarti terjadi pengurangan sebesar faktor 16 atau 24. Jadi tebal bahan yang dibutuhkan adalah setebal : 4 x 2 mm Pb = 8 mmPb.

III.3 Efek Biologi Radiasi.
III.3.1 Efek Deterministik ( Non Stokastik )

   Efek Deterministik ( Non Stokastik ) dapat terjadi akibat penyinaran lokal maupun menyeluruh sehingga sejumlah cukup banyak sel mati dan tidak dapat dikompesasikan oleh pembelahan sel yang masih hidup. Di Samping efek yang mematikan sel, radiasi dapat merusak jaringan dengan cara menimbulkan reaksi peradangan  yang mempengaruhi permiabilitas sel dan jaringan, mempengaruhi migrasi alamiah sel pada alat tubuh yang sedang berkembang, atau efek tak langsung melalui organ laian ( misalnya penyinaran pada hipopisis akan mempengaruhi fungsi kelenjar endokrin yang lain )
1.    Ciri-Ciri Efek Deterninistik ( Non Stokastik )
2.    Mempunyai dosis ambang
3.    Umumnya timbul tidak begitu lama setelah terkena radiasi.
4.    Ada penyembuhan spontan ( tergantung keparahan )
5.    Dosis radiasi mempengaruhi keparahan efek ( makin besar dosis, efek makin parah ).
Jika kematian masing-masing sel bersifat acak ( stokastik ), terganggunya fungsi jaringan atau organ bersifat deterministik, karena memerlukan dosis ambang untuk dapat menimbulkan terjadinya efek.  
Menurut International Commission Radiation Protection ( ICRP ) besarnya dosis ambang ini untuk efek deterministik pada testis, ovarium, lensa mata dan sumsun tulang manusia dewasa adalah seperti yang di gambarkan pada Tabel dibawah ini :
Estimasi Dosis Ambang beberapa Efek Deterministik pada Manusia Dewasa

JARINGAN DAN EFEK

DOSIS AMBANG


A ( Sv )

B ( Sv )

C ( Sv )
Testis
·         Steril Sementara
·         Steril menetap
Ovarium
·         Sterilitas
Lensa Mata
·         Kekeruhan yang teramati
·         Katarak
Sumsum Tulang
·         Penekanan Produksi Sel-Sel Darah

0,15
3,5 – 6,0

2,5 – 6,0

0,5 – 2,0
5,0

0,5

*)
*)

6,0

5
> 8

*)

0,4
2,0

> 0,2

> 0,1
> 0,15

> 0,4

Keterangan :
A = Dosis ekivalen total yang diterima pada penyinaran tunggal yang singkat
B = Dosis ekivalen total yang diterima pada penyinaran berulang-ulang atau kronik
C = Laju dosis tahunan apabila penyinaran berulang-ulang diterima setiap tahun            
       atau penyinaran kronik berlangsung selama beberapa tahun
*) = Tidak berlaku karena dosis ambang untuk efek tersebut lebih bergantung pada
       laju dosis dari pada dosis total
Pada kulit, efek deterministik yang berupa kemerahan ( erythema ) dan pengelupasan kering ( dry desquamation  ) terjadi pada dosis sekitar 3 – 5 Gray, kira-kira 3 minggu setelah penyinaran. Pengelupasan kulit disertai dengan pelepuhan terjadi pada dosis sekitar 20 Gray kira-kira 3 minggu setelah menerima penyinaran dengan dosisi 50 Gray atau lebih.
Pada penyinaran seluruh tubuh akan timbul sindroma radiasi akut apabila dosis cukup tinggi ( 1 Gray  atau lebih ). Pada dosis yang tinggi, kematian organisme dapat terjadi karena sel yang terbunuh cukup besar jumlahnya dan melibatkan organ-organ vital ( organ pembuat darah, saluran pencernaan makanan, sistem jantung dan pembuluh darah, susunan syaraf pusat ). Untuk orang dewasa sehat, dosis radiasi yang menimbulkan kematian dalam waktu 60 hari pada 50% dari populasi yang terkena radiasi seluruh tubuh (  LD ), menurut ICRP ( 1991 ) adalah antara 3  - 5 Gray.
Selama dalam kandungan, pada periode pembentukan alat-alat tubuh, kematian sejumlah kecil sel yang kehadirannya bersifat esensial dapat berakibat cacat pembentukan organ. Efek terpenting pada penyinaran terhadap janin dalam rahim adalah cacat mental mulai dari bentuk ringan sampai kemunduran mental berat. Efek ini makin parah bila dosis radiasi yang diterima makin besar. Kemunduran mental dapat ditemukan pada anak-anak yang menerima radiasi selama dalam kandungan, terutama bila penyinaran itu terjadi pada umur kehamilan antara 8 – 15 minggu. Kemunduruan mental itu diduga terjadi karena salah hubung sel-sel s yaraf di otak yang keparahannya tergantung pada besar dosis penyinaran. Salah hubung sel-sel syaraf ini menyebabkan pergeseran ke arah IQ rendah pada kurva distribusi IQ pada suatu populasi yang terkena radiasi. Dosis radiasi sebesar 1 Sv akan menambah sejumlah 40% kasus baru kemunduran mental berat  (IQ<70) ( UNSCEAR, 1993 ).

III. 4. EFEK STOKASTIK
Efek Stokastik akibat radiasi mempunyai ciri-ciri :
·         Tidak mengenal dosis ambang
·         Timbul setelah melalui masa tenang yang lama
·         Tidak ada penyembuhan spontan
·         Dosis radiasi tidak mempengaruhi keparahan efek
·         Peluang timbulnya efek makin besar bila dosis semakin meningkat

III. 4. 1. Induksi Kanker
Proses menuju timbulnya kanker diawali dengan gangguan regulasi pada pertumbuhan, reproduksi dan perkembangan sel somatik induk ( precurso r). Meskipun perubahan awal telah terjadi, sel yang telah berubah itu belum bersifat sebagai kanker; masih diperlukan stimulasi oleh zat-zat kimia, hormon atau faktor-faktor lingkungan yang lain.
Perubahan tunggal pada kode genetik sel biasanya belum mencukupi untuk membuat suatu sel menjadi kanker; untuk itu diperlukan beberapa mutasi. Jadi proses timbulnya kanker adalah proses yang bertahap-tahap ( multi stages carcinogenesis ).
Sangat boleh jadi radiasi bekerja pada tahap-tahap awal dalam proses induksi kanker yang bertahap-tahap dengan mengubah sel induk yang normal menjadi sel pra kanker. Karena itulah usia timbulnya kanker akibat radiasi tidak banyak berbeda dengan kanker sejenis yang timbul bukan akibat radiasi. Namun demikian, ada kalanya radiasi berpengaruh pada tahap lanjut dalam proses induksi kanker, sehingga masa laten diperpendek.
Pada manusia, periode antara pemaparan terhadap radiasi dan timbulnya kanker, yang disebut masa laten, bertahun-tahun lamanya. Masa laten rata-rata 8 tahun dalam hal leukemia akibat radiasi dan 2 – 3 kali lebih lama pada kebanyakan tumor mempat (solid) seperti misalnya tumor panyudara atau paru-paru ( ICRP, 1991 ).
III. 4. 2. Efek Pewarisan
Apabila perubahan kode genetik terjadi pada sel pembawa keturunan ( sel sperma atau sel telur ) maka efek radiasi yang diterima oleh individu yang terkena radiasi akan diwariskan kepada keturunannya. Penelitian pada hewan dan tanaman menunjukkan bahwa efek itu dapat bervariasi dari yang ringan hingga kehilangan fungsi dan kelainan anatomik yang parah bahkan kematian prematur.
Suatu kerusan tak mematikan pada sel pembawa keturunan pada prinsipnya akan diwariskan lebih lanjut ke generasi berikutnya. Mutasi dominan yaitu perubahan kode genetik yang berasal dari salah satu orang tua dan masih mempunyai pengaruh yang dominan pada keturunan dan dapat menimbulkan penyakit yang diwariskan pada keturunan generasi pertama. Beberapa diantara penyakit-penyakit ini sangat merugikan individu yang menderita dan mempengaruhi lama hidup dan peluangnya untuk bereproduksi. Mutasi resesif (perubhan kode genetik yang harus berasal dari kedua orang tua agar dapat menimbulkan efek pewarisan pada keturunan) menghasilakn efek yang kurang penting pada beberapa generasi pertama. Namun bila diingat bahwa populasi merupakan pool genetik maka mutasi resesif yang berlansung dalam pool terebut akan menimbulkan kerusakan pada generasi berikutnya karena peluang kedua orang tua untuk membawa mutasi itu meningkat.

III. 5. EFEK BIOLOGI PADA SISTEM, ORGAN  ATAU  JARINGAN
III. 5. 1. Darah dan Sumsum Tulang Merah
Darah putih merupakan komponen seluler darah yang tercepat mengalami perubahan akibat radiasi. Efek pada jaringan ini berupa penurunan jumlah sel. Kompenen seluler darah yang lain ( butir pembeku dan darah merah ) menyusun setelah sel darah putih.
Sumsum tulang merah yang mendapat dosis tidak terlalu tinggi masih adapt memproduksi sel-sel darah merah, sedang pada dosis yang cukup tinggi akan terjadi kerusakan permanen yang berakhir dengan kematian ( dosis lethal 3 – 5 Sv). Akibat penekanan aktivitas sumsum tulang maka orang yang terkena radiasi akan menderita :
·         Kecenderungan pendarahan dan infeksi
·         Anemia dan kekurangan hemoglobin
Efek stokastik pada penyinaran sumsum tulang adalah leukemia dan kanker sel darah merah.
III. 5. 2. Saluran Pencernaan Makanan
Kerusakan pada saluran pencernaan makanan memberikan gejala mual, muntah, gangguan pencernaan dan penyerapan makanan serta diare. Kemudian dapat timbul karena dehidrasi akibat muntah dan diare yang parah.
Efek stokastik yang dapat timbul berupa kanker pada epithel saluran pencernaan.
III. 5. 3. Organ Reproduksi
Efek somatik non stokastok pada organ reproduksi adalah sterilitas, sedangkan efek genetik (pewarisan) terjadi karena mutasi gen atau kromosom pada sel kelamin.
III. 5. 4. Sistem Syaraf
Sistem syaraf termasuk tahan radiasi. Kematian karena kerusakan sistem syaraf terjadi pada dosis puluhan Sievert.
III. 5. 5. Mata
Lensa mata peka terhadap radiasi. Katarak merupakan efek somatik non stokastik yang masa tenangnya lama (bisa bertahun-tahun).
III. 5. 6. Kulit
Efek somatik non stokastik pada kulit bervariasi dengan besarnya dopsis, mulai dengan kemerahan sampai luka bakar dan kematian jaringan.
Efek somatik stokastik pada kulit adalah kanker kulit.
III. 5. 7. Tulang
Bagian tulang yang peka terhadap radiasi adalah sumsum tulang dan selaput dalam serta luar pada tulang. Kerusakan pada tulang biasanya terjadi karena penimbunan Stontium-90 atau Radium-226 dalam tulang.
Efek somatik stokastik berupa kanker pada sel epithel selaput tulang.
III. 5. 8. Kelenjar Gondok
Kelenjar gondok berfungsi mengatur metabolisme umum melalui hormon tiroxin yang dihasilkannya. Kelenjar ini relatif tahan terhadap penyinaran luar namun mudah rusak karena kontaminasi internal oleh Yodium Radioaktif.
III. 5. 9. Paru-paru
Paru-paru pada umumnya menderita kerusakan akibat penyinaran dari gas, uap atau partikel dalam bentuk aerosol yang bersifat radioaktif yang terhirup melalui pernafasan.
III. 5. 10. Hati dan Ginjal
Kedua organ ini relatif tahan terhadap radiasi.
III. 6. PEMONITORAN
Pemonitoran terdiri dari :
a.    Pemonitoran Daerah Kerja
b.    Pemonitoran perorangan
Hasil pemonitoran dilaporkan secara berkala dan bila dosis yang diterima lebih besar dari NBD atau melebihi 2 kali Nilai Batas Maksimum Tahunan ( NBMT ) maka Petugas Proteksi Radiasi ( PPR ) harus menyerahkan masalah ini kepada dokter yang bertanggung jawab menaksir efeknya.

III. 7. PENCATATAN DOSIS
Dosis yang diterima Pekerja Radiasi setiap bulannya harus dicatat dalam suatu Buku Catatan Dosis Perorangan dan disimpan selama 30 Tahun.
III. 8. PENGAWASAN KESEHATAN
Pengawasan kesehatan ini dimaksudkan untuk menentukan apakah keadaan kesehatan pekerja radiasi sesuai dengan tugas yang akan dilakukan dan untuk mengetahui apakah ada pengaruh radiasi pada kesehatan pekerja radiasi tersebut selama bekerja dengan radiasi. Keharusan pemeriksan kesehatan ini tidak hanya bagi mereka yang bekerja di Batan atau industri lain yang menggunakan sumber radiasi pengion akan tetapi juga bagi pekerja radiasi dalam bidang medik dan telah diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 172/Men Kes/PER/III/91. Selain untuk memantau keadaan kesehatan pekerja radiasi, pemeriksaan kesehatan juga penting bagi penguasa Instalasi Atom, jika dikemudian hari ada pekerja radiasi yang menggugat bahwa sakit yang dideritanya adalah diakibatkan oleh radiasi yang diterimanya (Medico-legal), walaupun resiko sakit akibat radiasi ini sangat kecil.
Peraturan mengenai pengawasan kesehatan antara lain :
1.    Penguasa Instalasi Atom wajib melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap calon pekerja radiasi, sekali setahun bagi pekerja radiasi dan pekerja radiasi yang akan memutuskan hubungan kerja dengan Instalasi Atom.
2.    Pemeriksaan kesehatan khusus harus dilaksanakan apabila dosis radiasi yang diterima pekerja radiasi melampaui nilai seperti yang tercantum dalam peraturan mengenai pembatasan dosis dan diterima dalam jangka waktu yang singkat.
3.    seluruh hasil pemeriksaan kesehatan harus dicatat dalam kartu kesehatan dan kartu ini harus disimpan untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 30 tahun sejak bekerja dengan radiasi. Di dalam kartu kesehatan harus ada keterangan tentang sifat pekerjaan dan alasan pemberian pemeriksaan kesehatan khusus.
4.    Perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan radiasi harus tersedia di daerah kerja yang isinya tergantung pada jenis kecelakaan yang mungkin terjadi, jenis radiasi, jenis kontaminasi pada tubuh manusia.
III. 9. ORGANISASI PROTEKSI RADIASI
Penguasa Instalasi Radiasi Atom mempunyai tanggung jawab tertinggi terhadap keselamatan personil dan anggota masyarakat yang mungkin berada di dekat Instalasi dibawah pengawasannya. Namun demikian semua pekerja harus turut bertanggung jawab sehingga kecelakaan tidak terjadi akibat kelalaianya. Dengan demikian maka Proteksi Radiasi yang baik tergantung pada organisasi proteksi radiasi yang efisien dan efektif. Tanggung jawab, kewajiban serta wewenang tiap unsur dalam organisasi proteksi radiasi harus dinyatakan secara jelas.

III. 9. 1. Tanggung Jawab Penguasa Instalasi Atom, antara lain :

a.    Membentuk Organisasi Proteksi Radiasi dan menunjuk Petugas Proteksi Radiasi dan bila perlu PPR diganti.
b.    Memberikan pendidikan dan latihan cara bekerja dengan sumber radiasi pada pekerja radiasi dan memberitahukan semua pekerja radiasi tentang potensi bahaya radiasi yang berkaitan dengan pekerjaannya.
c.    Menyediakan fasilitas dan peralatan yang diperlukan untuk bekerja dengan sumber radiasi, termasuk alat pemonitor perorangan (Film badge dll).
d.    Menyediakan aturan keselamatan radiasi, prosedur kerja dengan sumber radiasi dan termasuk aturan tentang penanggulangan keadaan darurat.
e.    Menyelenggarakan pemeriksaan dan pelayanan kesehatan bagi pekerja radiasi. 

III. 9. 2. Tanggung Jawab dan Kewajiban Petugas Proteksi Radiasi.
PPR mempunyai kewajiban membantu PIA dalam melaksanakan tanggung jawabnya dibidang proteksi radiasi. Oleh karena itu PPR perlu diberi wewenang untuk :
a.    Memberikan instruksi teknis dan administratif kepada pekerja radiasi yang berkaitan dengan keselamatan radiasi.
b.    Mengambil tindakan untuk menjamin agar tingkat penyinaran serendah mungkin dan menjamin pelaksanaan pengelolaan limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugas ini PPR perlu melaksanakan pemonitoran radiasi dan tindakan proteksi radiasi.
c.    Mencegah :
·         Kehadiran orang yang tidak berkepentingan di daerah pengendalian.
·         Zat radioaktif jatuh ke tangan orang yang tidak berhak
·         Perubahan terhadap sesuatu, sehingga dapat menimbulkan kecelakaan radiasi.
d.    menyelenggarakan dokumentasi yang berhubungan dengan proteksi radiasi, misalnya menyiapkan kartu dosis pekerja radiasi dll.
e.    Memberi penjelasan dan menyediakan perlengkapan proteksi radiasi yang memadai kepada pengunjung atau tamu bila diperlukan.

III. 9. 3. Tanggung Jawab dan Kewajiban Pekerja Radiasi.

Pekerja radiasi ikut bertanggung jawab terhadap keselamatan radiasi di daerah kerjanya. Oleh karena itu pekerja radiasi wajib :
a.    Memahami dan melaksanakan semua ketentuan keselamatan kerja radiasi.
b.    Memanfaatkan peralatan keselamatan radiasi yang tersedia, bekerja dangan hati-hati dan bekerja dengan aman baik untuk melindungi dirinya sendiri maupun pekerja lain, melaporkan setiap kejadian kecelakaan bagaimanapun kecilnya dan gangguan kesehatan yang diduga akibat penyinaran lebih atau masuknya zat radioaktif kedalam tubuhnya kepada PPR.

III.10. Jaminan Kualitas Radiodiagnostik (Radiodiagnostic Quality Assurance)
            Jaminan Kualitas radiodiagnostik didefinisikan sebagai kegiatan dari seluruh staf yang mengoperasikan fasilitas dan peralatan radiodiagnostik yang mempunyai mental dasar untuk  berfikir dan bertindak serta sadar akan penringnya kualitas.
Dengan demikian akan selalu terjamin baik fisik maupun fungsi semua fasilitas dan peralatan radiodiagnostik dapat laik pakai. Tidak akan terjadi lagi kesalahan-kesalahan pengoperasian alat, teknik pemeriksaan maupun keslahan yang diakibatkan oleh kelalaian radiografer dan pekerja lainnya, karena selalu taat terhadap standar prosur kerja yang telah ditetapkan. Dengan demikian dapat tercapai tujuan dan sasaran penyelenggaraan pelayanan radiologi dengan produksivitas yang tinggi, efektif dan efesien serta aman baik untuk bagi seluruh pekerja radiasi, pasien maupun masyarakat lingkungan.
III. 11. Upaya-upaya yang telah dan perlu di lakukan untuk terjaminnya tingkat kesehatan dan keselamatan kerja dengan radiasi pengion.
A.   Upaya yang telah dilakukan :
1.    Pengurusan izin pemenfaatan pemakaian pesawat radiologi.
 Izin pemanfatan / pengoperasian pesawat radiologi masih berlaku sampai bulan …………………….. tahun
2.    Petugas proteksi Radiasi yang berlisensi BAPETEN telah ada dan telah melakukan tugasnya sesuai dengan kompetensinya antara lain :
3.    Membuat prosedur kerja dengan radiasi
4.    Membuat tanda-tanda adanya bahaya radiasi dengan jelas sehingga mudah terlihat dan menempatkan pada tempat-tempat yang semestinya.
5.    Memelihara peralatan proteksi radiasi agar selalu dalam keadaan yang memadai baik fisik maupun fungsi.
6.    Membuat Kartu Dosis perorangan yang dismpan dengan baik sehingga mudah diperiksa apabila diperlukan.
7.    Menganalisa dosis perorangan dari kartu dosis untuk mengetahui apakah ada pekerja radiasi terpapar radiasi melebihi NBD untuk pekerja radiasi.
8.    Merekomendasikan untuk memeriksa kesehatan bagi pekerja setiap 6 ( enam ) bualan sekali.
9.    Membuat Standar Prosedur Pelayanan Radiologi
10. Membuat Standar Prosedur pemeriksaan radiologi baik dengan bahan kontars maupun tanpa bahan kontras.
11. Membuat Standar Prosedur pemeriksaan radiografi baik dengan bahan kontras maupun tanpa bahan kontras.
12. Membuat Standar Prosedur tindakan kedaruratan medik akibat penggunaan bahan kontras pada pemeriksaan radiologi.
13. Melakukan pemeliharan secara berkala terhadap sarana, fasilitas dan peralatan radiologi sesuai dengan batas kewenangan radiografer, agar keadaan baik fisik maupun fungsi sarana, fasilitas dan peralatan radiologi selalu laik pakai, khususnya pemeliharaan kebersihan pesawat rontgen, kaset dan intensifying screen, alat prosesing film otomatis.
14. Melakukan reject film analisis untuk mengetahui apakah hasil pelayanan radiografi telah mencapaikualitas yang diharapkan ( jumlah film yang ditolak ternyata masih dalam batas normal  5% setiap bulan )
B.   Upaya yang akan dilakukan meliputi :
1.    Mengikuti Seminar Radiografi untuk radiografer bekerja sama dengan profesi PARI Cabang  profinsi Riau, untuk meningkatkan pengetahuan ilmu radiografi yang semakin berkembang.
2.    Mengikuti Seminar Proteksi radiasi untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang keselamatan dan kesehatan kerja dengan radiasi.
3.    Membentuk Gugus Kendali Mutu, yang diharapkan dapat mempercepat penyelesaian masalah yang dihadapi di Instalasi radiologi, terutama yang berkaitan dengan pemeliharaan sarana, fasilitas dan peralatan radiologi yang belum tertangani secara serius.
4.  Mengirim radiografer secara berkala dan bergantian untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan bidang radiografi, Quality Assurance radiodiagnostik yang diselenggarakan oleh organisasi profesi tingkat cabang maupun pusat.
5.    Melengkapi alat deteksi radiasi ( Survey Meter type 490 ) untuk memonitor tingkat paparan radiasi lingkungan ruang radiasi, untuk memastikan bahwa tingkat paparan radiasi masih berada dalam batas yang aman.
6.    Melengkapi QC tool Set yang telah ada dengan product terbaru
7.    Melengkapi buku-buku kepustakaan instalasi radiologi dengan buku-buku Peraturan dan perundang-undangan yang berlaku baik pada penyelenggaraan pelayanan radiologi maupun yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja dengan radiasi.
8.    Membuat MOU dengan Bapeten untuk menyelenggarakan TOT bagi dosen yang telah mempunyai lisensi atau SIB. 
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan baik dari kajian teori maupun situasi dan kondisi instalasi Laboratorium radiologi saat ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
1.    Kualitas Penyelenggaraan Pelayanan Laboratorium Radiologi masih berada dalam keadaan cukup memadai, walaupun belum berada dalam tingkat kualitas yang ideal, karena belum memenuhi standar pelayanan Laboratorium radiologi yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan.
2.    Kualitas hasil pelayanan radiografi yang berbentuk foto-foto radiografi belum mencapai taraf kualitas yang memuaskan, hal ini dikarenakan karena semua peralatan radiologi khususnya pesawat rontgen, alat prosesing film otomatis belum dikalibrasi secara berkala.
3.    Sistem kegiatan Pemeliharaan sarana, fasilitas dan peralatan radiologi belum optimal karena pemeliharaan dilakukan hanya secara insidentil, belum mengikuti Standar Pemeliharaan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeliharaan Fasilitas Kesehatan ( BPFK ) Departeman Kesehatan.
4.    Belum meratanya pemikiran untuk sadar akan kualitas dikalangan pekerja instalasi Laboratorium radiologi, sehingga pekerjaan yang dilakukan hanya sebagai pekerjaan rutinitas, akibat belum meratanya pengetahuan tentang Jaminan Kualitas Radiodiagnostik dikalangan pekerja Instalasi Laboratorium Radiologi.
5.    Belum ada program pendidikan dan pelatihan bidang radiograf yang jelas dan mantap serta bermakna  bagi pekerja Instalasi Laboratorium Radiologi  untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pekerja Instalasi radiologi, sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan bidang radiologi.
6.    Masih kurangnya buku-buku kepustakaan bidang radiografi yang tersedia sehingga menghambat untuk mendapatkan perkembangan ilmu dan teknologi bidang radiologi yang ternyata berkembang dengan pesat.

B. Saran-Saran.       
Dari hasil kesimpulan tersebut diatas disarankan bahwa untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan radiologi dan kualitas keselamatan dan kesehatan kerja yang cukup memadai adalah sebagai berikut :
1.    Perlu adanya kebijakan Pimpinan untuk membuat Struktur Organisasi Proteksi di Instalasi Laboratorium Rdiologi.
2.    Perlu adanya kebijakan Pimpinan untuk membuat Tim yang mempelajari dan membuat Standar Pelayanan Laboratorium Radiologi, Standar Pelayanan Radiografi yang baku untuk diberlakukan di Instalasi Laboratorium Radiologi ( seuai dengan SK Menkes No:                                                            )
3.    Merencanakan kegiatan Kalibrasi bagi sarana, fasilitas dan peralatan radiologi minimal satu tahun sekali, dan perbaikan peralatan radiologi yang sudah lama rusak tetapi belum diperbaiki,  hal ini tentu saja akan berkaitan dengan biaya.
4.    Membuat Standar Pemeliharan Peralatan ( Standar Maintenace Prosedure ) seperti yang direkomendasikan oleh BPFK, dengan demikian kerjasama dengan IPRS perlu ditingkatkan.
5.    Perlu adanya Works Shop Jaminan Kualitas Radiodiagnostik bagi Petugas yang megelola Instalasi Laboratorium Radiologi , agar semua mampu melakukan tarnsfr pengetahuan kepada peserta didik..
6.    Perlu dibuat program pendidikan dan pelatihan keprofesian khususnya bagi radiografer yang jelas dan berkesinambungan sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ketingkat yang memadai. Hal ini dapat dilakukan melalui kerja sama dengan institusi pelayanan Radiologi           dan atau dengan profesi Radiografer ( PARI ).serta vendor yang bergerak dibidang Alkes.
7.    Melengkapi buku-buku kepustakaan tentang ilmu dan teknologi radiografi yang dirasakan sangat kurang sehingga dapat digunakan untuk sebagai acuan pekerja apabila diperlukan.   
Demikian juga maintenance alat secara teratur dan juga penyediaan dana untuk perbaikan kerusakan pada alat merupakan faktor lain yang tidak kalah pentingnya. Peralatan seperti conventional darkroom fluoroscopy ( fluoroscopy pada ruang gelap ) dan mass chest yang masih sering sering digunakan  menunjukkan beban radiasi yang tinggi tidak hanya bagi pasien, tapi juga untuk staf radiologi, perlu dipertimbangkan ijin penggunaannya. Operator/radiografer maupun radiolog  dapat memberikan kontribusinya dalam pengurangan beban radiasi pada pasien dengan menentukan teknik radiografi dan factor eksposi yang tepat tanpa mengurangi kualitas dari pencitraan yang dihasilkan.
 Pelaksanaan training  yang tepat dan bermakna pada  staf radiologi, menurut pengalaman dan statistik, dapat mengurangi dosis radiasi pada pasien sampai 40%. Quality control / assurance juga faktor lain yang dirasa perlu disosialisasikan karena, karena kegiatan Quality control yang dilakukan secara terus menerus ternyata  dapat mengurangi frekuensi pengulangan pemeriksaan akibat hasil gambar yang berkualitas rendah  juga berdampak pada pengurangan dampak radiasi pada pasien.
Disain standard bangunan ruang radiasi dengan kontruksi dinding, pintu dan jendela  yang dilengkapi dengan bahan penahan radiasi ( Pb ) dengan ketebalan yang memadai merupakan upaya untuk mengurangi paparan radiasi yang diterima baik oleh pasien, pekerja radiasi maupun masyarakat dimana pesawat sinar-X dioperasikan. Hal ini penting untuk meminimalisasikan kemungkinan adanya tingkat paparan radiasi yang melebihi dari yang diizinkan ( Maksimum Permisiable Dose ) dimana untuk pekerja radiasi adalah 0,5 mSv / Jam sedangkan untuk masyarakat dan lingkungan adalah 0.10 dari MPD pekerja radiasi. Tingkat paparan tersebut merupakan salah satu tindakan proteksi yang disebut Limitasi.
Standarisasi pemeriksaan radiografi sangat efektif untuk mengurangi dosis permukaan yang diterima pasien, oleh sebab itu untuk setiap pelayanan radiologi diwajibkan untuk membuat standarisasi baik standar pelayanan radiologi, maupun standar pemeriksaan radiolgi dan radiografi, termasuk standarisasi pemeriksaan kegawatan radiolgi serta, standar pelayanan penanganan kegawat daruratan akibat pemakaian bahan kontras radiografi. Teknik Prosedur Kerja alat dan fasilitas radiologi seperti pesawat rontgen, USG, dental unit dan peralatan serta fsilitas radiologi lainnya  perlu dibakukan untuk mengurangi kea;paan / kesalahan operasional oleh pekerja radiasi, termasuk teknik prosedur pemakaian dan pemeliharaan prosesing film otomatis yang merupakan alat yang sangat menentukan baik/ buruknya gambaran radiografi.
Pemonitoran paparan radiasi perorangan ( personal monitoring ) dengan pemakaian film badge merupakan suatu tindakan yang harus dipnuhi oleh setiap pekerja radiasi, sehingga tingkat paparan radiasi yang diterima pekerja radiasi dapat terukur secara berkala dan berkesinambungan, sehingga bila terjadi peningkatan paparan radiasi diatas normal ( > 50 % ) dari biasanya merupakan suatu tanda awal yang dapat membahayakan personil, sehingga harus mendapat perhatian yang serius sampai terindentifikasi penyebab terjadinya peningkatan paparan radiasi pada pekerja radiasi. Hal ini dapat disebabkan adanya kebocoran tabung, teknik tindakan proteksi radiasi yang kurang efektif dan efesien pada saat melakukan kerja dalam medan radiasi dan sebab-sebab lainnya, ataupun adanya kesengajaan melakukan penyinaran film badge secara langsung.
Oleh sebab itu Petugas Proteksi Radiasi yang mempunyai Lisensi      ( SIB ) haruslah dimiliki oleh setiap Instalasi Radiologi. ( UU No 10 Th 2000 ) sebagai penanggung jawab terhadap keselamatan dan kesehatan kerja dengan radiasi sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.PPR mempunyai kewajiban untuk membuat prosedur kerja dengan zat radioaktif dan atau sumber radiasi lainnya, perencananaan tindakan keselamatan kerja, pengukuran tingkat paparan radiasi lingkungan ( Survey Radiasi ) dan evalusi terhadap tindakan keselematan kerja yang telah dilakukan, apakah sudah efektif dan efesien atau perlu memperbaikinya.

·         Management Keselamatan kerja dengan  Radiasi :
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penerimaan paparan radiasi adalah sebagai berikut :

       Perizinan pemanfaatan pesawat radiologi
·         Standarisasi disain bangunan radiologi.
·         Perkembangan peralatan radiologi, accessories dan bangunan.
·         Teknik prosedur pemeriksaan radiologidan radiografi medik
·         Rujukan / Referensi
·         Pendidikan dan Training.
·         Kalibrasi dan Dosimetri.
·         Kriteria kualitas dan reference dose levels
Hal ini perlu dilaksanakan secara berkala dikarenakan pemanfaatan pesawat radiologi sebagai sumber radiasi pengion selain besar manfaatnya bagi manusia, tetapi juga mempunyai dampak negatif  bagi pasien, pekerja radiasi maupun bagi lingkungan dimana pesawat radiologi tersebut dioperasikan, dampak negatif dapat berbentuk efek Stokastik ( Efek radiasi yang dapat timbul apabila dosis ambang dilampaui ) maupun efek Non Stokastik ( Efek radiasi yang timbul akibat penyinaran yang kecil terus menerus tanpa adanya dosis ambang ).
Oleh sebab itu tanpa adanya perhatian yang serius terhadap sarana, fasilitas, peralatan radiologi serta kepatuhan terhadap standar prosedur kerja maka dimungkinkan keselamatan kerja dengan radiasi sangat mungkin tidak dapat tercapai.

1.    Perkembangan  peralatan radiologi dan accessories-nya.
Salah satu perkembangan teknik radiografi yang sangat revolusioner dan dapat mengurangi dosis radiasi pada pasien adalah ditemukan intesifying screen yang tergantung dari jenis screen dan jenis film yang dipakai, dapat mengurangi dosis radiasi sebesar faktor 15 – 500, dimana jenis intensifying rare earth screen (gadolinium dan lanthanum) menunjukkan effisiensi dosis 3 sampai 5 kali lebih baik dibanding dengan calcium tungstate screen. Selain itu spectral sensitivity dari film yang digunakan harus sesuai dengan spectrum emissi dari intensifying screen, karena emisi dari intensifying jenis rare earth merupakan cahaya tampak berwarna hijau, maka pemakaian film radiografnyapun haruslah dipakai film yang sensitif terhadap cahaya hijau ( Green Sensitif ).
Dampak lain dari penggunaan intensifying screen adalah pengurangan pemakaian faktor exposure, sehingga selain rendahnya dosis yang diterima pasien, juga menyebabkan beban terhadap X-ray tube menurun sehingga automatis akan memperpanjang masa hidup / usia dari X-ray tube.
Sering kali peralatan dengan safety dan kualitas yang kurang memuaskan dan di bawah standar masih dipakai, oleh sebab itu kalibrasi secara berkala  fungsi peralatan, sarana dan fasilitas perlu dilakukan termasuk peralatan radiografi apakah itu Casette dan kontak film screen, safe light, prosesing film otomatis  termasuk kesegaran cairan kimia untuk prosesing film. Karena hasil akhir gambaran radiograf sangat ditentukan oleh kualitas peralatan kamar gelap.
Dari pengalaman bekerja ditemukan, bahwa sekitar 80% dari alat-alat baru yang di-install menunjukkan adanya malfungsi pada satu atau beberapa parameter radiologis, termasuk kilovoltage, timer, kolimator, milliamper second linearity dll. Selain itu masih sering kita temukan alat-alat radiologi yang berumur kebih adri 10 tahun, akan tetapi masih terus digunakan, meskipun sudah menunjukan satu atau  lebih malfungsi parameter radiologis, apalagi apabila pada alat-alat tersebut jarang dilakukan maintenance seperti yang seharusnya.
Peralatan seperti conventional darkroom fluoroscopy (fluoroscopy diruang gelap) dan mass chest yang masih sering digunakan di negeri kita ini menunjukkan beban radiasi yang tinggi tidak hanya bagi pasien, tetapi juga untuk staf radiologi, perlu dipertimbangkan ijin penggunaannya.
Oleh karena itu izin atau approval dan registrasi dari penggunaan peralatan radiologi serta pengontrolan secara rutin selama penggunaannya merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda pelaksanaannya dan sebaiknya diterapkan dalam perundang-undangan (Bapeten).
Penggunaan filter pada X-ray tube sangat penting untuk mengurangi atau menghilangkan sinar-X berenergi rendah yang dapat menambah beban radiasi pada pasien dan oleh karenanya sudah seharusnya merupakan perlengkapan standart pada setiap alat X-ray. Direkomendasikan untuk menggunakan filter setebal 2 mm Al untuk energi sampai 100 kV dan 2.5 mm untuk pesawat radiologi dengan pemakaian energi antara 100 – 150 kV.
Meja pemeriksaan maupun mattress merupakan accessories yang kelihatannya simple, akan tetapi juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap radiasi pada pasien disebabkan oleh penyerapan sebagian sinar-X. penggunaan serat carbon untuk meja X-ray menunjukkan absorbsi sinar-X yang rendah dengan nilai transmisi yang tinggi (89%), sedangkan untuk mattress sekitar 81-98%. Oleh karena itu penggantian accessories seperti di atas tidak dapat dilakukan tanpa memperhatikan dampaknya seperti tertera di atas.
Demikian juga penggunaan apron merupakan suatu hal yang mutlak bagi staf maupun pasien dalam kondisi tertentu, seperti fluroskopi, dan terutama bagi anak-anak dan wanita masa subur yang belum dipastikan hamil untuk menutupi organ-organ reproduksi merupakan suatu kewajiban.
Bangunan dan material dimana peralatan radiologi tersebut di-install perlu mendapatkan perhatian yang serius. Pelapisan dengan Pb. Merupakan hal yang mutlak untuk ruang pemeriksaan, demikian juga pembagian ruang pemeriksaan yang hanya boleh dimasuki oleh pasien atau yang berkepentingan, ruang operator maupun ruang tunggu pasien dengan tingkat paparan radiasi harus cukup rendah ( 2.5 mR/Jam ) yang merupakan hasil pengukuran oleh petugas yang kompeten merupakan kewajiban yang tidak dapat diabaikan oleh pengusaha pelayanan radiologi.

2.    Teknik Radiologi dan Radiografi Medik
Dalam hal ini ALARA (as low as reasonably achieveable) perlu diterapkan pada setiap pemeriksaan radiologis. Dan ini dapat tercapai apabila teknik-teknik radiologis yang dipergunakan terseleksi dengan baik dan tepat guna, terutama dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas gambar dan dosis pada pasien, seperti pembatasan luas lapangan penyinaran yang terkena sinar (field of view), dan juga pemilihan exposure factors yang tepat, seperti kV, mAs, target to skin distance, air gap, angulasi, instruksi atau aba-aba ke pasien untuk menahan napas dan juga penglabelan film yang telah ter-expose.
Apabila faktor-faktor tersebut di atas tidak diperhatikan maka ratio pengulangan pemeriksaan akan menjadi tinggi dan menurut statistik bahkan dikabarkan bisa mencapai 10-30% ( RS pendidikan ). Oleh sebab itu penilaian dan analisa terhadap film yang ditolak ( Reject Film Analisis ) sangat dianjurkan. Hal ini dapat dihindari dan paling tidak bisa ditekan dengan pelaksanaan prosedur quality control yang konsekuen dengan mengikutsertakan tidak hanya pada peralatan radiologis, akan tetapi juga operator dan staf untuk selalau sadar berkualitas.
3.    Rujukan.
Pemeriksaan diagnostik radiologi merupakan informasi klinis yang sangat membantu dalam menegakkan diagnostik penyakit yang diderita pasien dan sangat berpengaruh dalam penatalaksanaan dan terapi pasien, akan tetapi suatu report yang dikeluarkan oleh British Medical Journal relatif mengejutkan, karena diberitakan bahwa sekitar 1/5 dari pemeriksaan radiologis yang dilakukan di England secara klinis dinyatakan tidak menolong/ mendukung, hal ini disebabkan oleh karena indikasi pemeriksaan tersebut maupun kualitasnya tidak tepat. Kemungkinan situasinya di Instalasi radiologi  lain tidak berbeda jauh, termasuk juga di Indonesia. Oleh karena itu kasus-kasus seperti ini perlu dihindari dan ditekan angka kejadiannya, karena dapat mengurangi beban dosis radiasi pada pasien secara individual maupun kolektif. Dalam hal ini perlu disosialisasikan buku-buku rujukan dan rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh badan-badan internasional maupun nasional ( IAEA, BATAN, BAPETEN ) yang berkaitan dengan radiasi maupun indikasi pemeriksaan radiologis agar dapat dijadikan pedoman  bagi operator atau radiografer.
Dengan sendirinya usaha dari organisasi profesi untuk mengeluarkan buku pedoman pelayanan medis bagi tiap-tiap perhimpunan kedokteran, termasuk juga Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia ( PDSRI ), Persatuan Ahli Radiografi Indonesia ( PARI ) merupakan hal yang sangat kita sambut dengan baik dan  harapan ini ternyata telah  terlaksana dalam waktu yang tidak terlalu lama telah tersedia buku-buku pedoman yang diterbitkan oleh organisasi profesi baik oleh PDSRI maupun oleh PARI.
4.                                
  Pendidikan dan Training
   Salah satu faktor penting yang dapat mengurangi dosis radiasi pada pasien adalah pengetahuan dan skill dari pada SDM yang berkecimpung dalam diagnostik radiologis. Oleh karenanya pendidikan dan training pada SDM di atas merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dari pengalaman-pengalaman yang lalu dibeberapa negara industri dapat dilaporkan, bahwa melalui pendidikan dan training seperti di atas dan sosialisasi informasi yang diperoleh di masing-masing tempat kerja oleh peserta membebani pasien sampai sekitar 40%. Kursus-kursus yang diselenggarakan oleh BAPETEN dalam konteks Petugas Proteksi Radiasi ( PPR ) dan kursus keterampilan bidang radiografi oleh profesi PARI  tidak saja meningkatkan keterampilan dan kemahiran profesional tetapi diharapkan juga dapat membuahkan hasil yang memadai sehingga dapat mengurangi penerimaan dosis pasien , tentunya hal ini memerlukan evaluasi lebih lanjut, setelah pelaksanaannya mencakup seluruh pekerja radiasi.
5.    Dosimerti.
Pengetahuan mengenai dosis radiasi yang diberikan pada pasien dalam pemeriksaan radiologis sangat penting dan sangat berguna sebagai usaha pengurangan dosis radiasi. Survey dari beberapa negara menunjukkan bahwa dosis yang diterima pasien di berbagai rumah sakit sangat bervariasi satu sama lain meskipun pada pemeriksaan radiologis yang sama. Oleh karenanya diperlukan pengembangan protokol dosimetri untuk pemeriksaan diagnostik radiologis bagi masing-masing negara yang dapat diterapkan di rumah sakit-rumah sakit dan memenuhi standart internasional (IAEA). Setiap pekerja radiasi di rumah sakit atau bagian radiologi diharapkan dapat mengecek atau mengevaluasi kondisi dan performance mereka untuk dibandingkan dengan standart nasional maupun internasional.
Secara garis besar dosis yang dihitung secara kuantitatif pada pemeriksaan diagnostik direkomendasikan sebagai berikut :
·         Dosis masuk yang diukur pada permukaan pasien pada senter dari sinar-X untuk radiografi individual ( sebanding dengan pemakaian kV dan mAs yang digunakan )
·         Produk dosis area kumulatif untuk pemeriksaan dengan teknik fluroscopi.
Tentunya pengukuran dosis kepada pasien harus dilakukan oleh tenaga yang kompetan ( Fisika Medik ) dan dilakukan dengan alat ukur yang telah dikalibrasi dengan teknik dan prosedur pengukuran yang sesuai sehingga hasil pengukuran yang didapat dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
6.    Quality Control / Assurance.
Quality control / assurance juga faktor lain yang perlu disosialisasikan karena dapat mengurangi frekuensi pengulangan pemeriksaan akibat hasil gambar yang berkualitas rendah yang juga berdampak pada pengurangan dampak radiasi pada pasien. Pengecekan kualitas setiap harinya pada alat Roentgen, Kontak Film Screen , film radiografi dan mesin cuci merupakan langkah-langkah yang perlu dijadikan usaha rutin dalam memenuhi tuntutan quality assurance.
Untuk mendapatkan gambar Roentgen yang berkualitas tinggi dengan menggunakan dosis sinar-X yang dapat dipertanggungjawabkan, Commission for European Communities (CEC) telah mengeluarkan buku petunjuk mengenai kriteria gambar radiologis yang baik, kriteria dosis radiasi yang diperlukan dan juga contoh-contoh mengenai teknik radiologis yang baik dan kiranya dapat juga dijadikan asupan untuk kita di Indonesia.
Oleh karena situasi dan kondisi suatu instalasi radiologi sangat berbeda disetiap rumah sakit, tentunya pekerja radiasi di Rumah Sakit tersebutlah yang paling mengetahuinya, sehingga kesadaran akan keselamatan kerja serta kesadaran akan kualitas perlu dikembangkan oleh setiap pekerja radiasi di rumah sakit tersebut, sehingga manfaat dari pemakaian radiasi sinar-X dalam tercapai dengan meminimalkan dosis radiasi yang diterima oleh pasien dan pekerja.
PERMASALAHAN
Dari uraian diatas ternyata situasi dan kondisi di Instalasi Laboratorium Radiologi Jur Tro Poltekkes Jakarta II belum dapat dikatakan cukup memadai baik sistem pemeliharaan peralatan radiologi, apalagi untuk dilakukan kalibrasi, sehingga sampai saat ini kegiatan pemeriksaan radiografi yang dilakukan khususnya pemilihan faktor eksposi hanya dilakukan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh radiografer yang tentunya mempunyai keterbatasan. Dengan demikian timbul permasalahan “ Mampukah Radiografer Instalasi Laboratorium Radiologi meningkatkan kualitas keselamatan dan kesehatan kerja   dengan kondisi fasilitas , peralatan radiologi serta sumber daya manusia yang terbatas “. Tentunya permasalahan ini harus di identifikasi terlebih sehiingga ditemukan penyebabnya, khususnya penyebab yang paling dominan guna dilakukan alternatif tindakan –tindakan pemecahannya yang paling memungkinkan.
IDENTISIFIKASI PERMASALAHAN.
Instalasi Laboratorium Radiologi saat ini sudah memiliki beberapa pesawat rontgen dari berbagai jenis dan merk, baik yang telah lama usianya maupun yang relatif baru. Untuk pesawat radiologi yang baru tentu saja parameter faktor eksposi masih berfungsi dengan baik dengan keakurasian yang cukup memadai. Namun tidaklah demikian dengan pesawat rontgen  yang sudah cukup lama beroperasi tentunya parameter  faktor eksposi baik kV, mA, maupun timer perlu pengkajian dan pengukuran tingkat keakurasiannya yang sampai saat ini belum mampu dilakukan oleh radiogafer berhubung keterbatasan/ tidak dimilikinya alat – alat ukur radiasi. Padahal kesesuaian besarnya kV, linear nilai mA yang diseting/dipilh pada saat eksposi dengan besarnya tenaga sinar-x yang terukur haruslah dalam batas toleransi sangatlah mengurangi kesalahan pada pemotretan yang memungkinkan adanya pengulangan foto yang berarti adanya penambahan dosis bagi pasien yang secara tidak langsung meningkatkan penerimaan paparan radiasi bagi pekerja.
 Begitu pula peralatan proteksi radiasi, baik berupa Apron, sarung tangan timbal tirai Pb pada pesawat rontgen, perisai radiasi, kontruksi dinding serta bangunan dapat dikatakan memenuhi persyaratan keamanan pekerja radiasi maupun lingkungan dimana pesawat dioperasikan.
Perlengkapan lain yang masih dan kurang mendapat perhatian adalah, lampu merah pada pintu masuk ruang radiasi yang harus menyala pada saat pesawat rontgen dihidupkan serta tanda-tabda adanya radiasi belum terpasang.
Begitu pula pengukuran tingkat paparan radiasi lingkungan belum dapat dilakukan, sehingga evaluasi penerimaan dosis petugas proteksi radiasi hanyalah dari catatan dosis perorangan yang ditunjukan oleh hasil pengukuran film badge setiap bulannya yang berkisar antara 10 – 20 Rem/ bulan.
Melihat dari besarnya dosis radiasi yang diterima menunjukan bahwa tindakan proteksi yang selama ini dilakukan oleh petugas masih cukup efektif dan efesien, mengaplikasikan semua faktor utama proteksi radiasi pada saat bekerja dengan radiasi, baik itu faktor Perisai, Waktu maupun jarak kesumber radiasi serta kepatuhan petugas kepada standar prosedur bekerja dengan radiasi pada waktu melakukan dan melaksanakan tugasnya sebagai tenaga kesehatan bidang radiologi.
Didalam pelaksanaan pemeriksaan radiografi, telah diusahakan dilakukan sesuai dengan Standar Prosedur Pemeriksaan radiografi, sehingga hasil foto yang dibuat sesuai dengan kriteria gambar, namun demikian untuk meningkatkan kualitas gambaran radiografi tentunya diperlukan upaya-upaya lain diantaranya melalui kegiatan Jaminan Kualitas Radiodiagnostik. Tentu saja kegiatan Jaminan Kualitas radiodiagnostik yang dilakukan tidak dapat dilakukan secara menyeluruh hal ini disebabkan keterbatasannya peralatan Jaminan Kualitas Radiodiagnostik ( QA Tool Set ), sehingga pengukuran akurasi out put sinar-x, linearisasi, mA,  serta kalibrasi pesawat rontgen tidak dapat dilakukan. Sehingga kegiatan Jaminan Kualitas Radiodiagnostik yang dapat dikerjakan adalah pengukuran yang sangat sederhana dengan memakai alat bantu yang dibuat sendiri, diantaranya pengukuran ketepatan luas lapangan penyinaran ( Light Beam Aligment ), ketepatan sentrasi sinar – x.
Untuk kegiatan Jaminan Kualitas Kamar Gelap, pengukuran kecepatan film, gamma film, dan pengukuran daerah radiografi sebagai pedoman pemakaian faktor ekposi untuk suatu pemotretan serta pengukuran densitas film belum dapat dilakukan karena tidak adanya alat sensitometer dan densitometer. Dengan demikian Kegiatan Jaminan Kualitas Radiogarfi hanya meliputi, pemeriksaan dan pemeliharaan Casette dan kontak film screen, pemeliharaan mesin prosesing film otomatis, sehingga dari evaluasi analisa film yang ditolak ( Reject Film Analisis ) menunjukan tingkat penolakan film semakin menurun, secara konkrit kerusakan film akibat kesalahan petugas rata-rata berkisar 1-3 % setiap bulan yang berarti terjadi penghematan alat dan bahan yang cukup signifikan apabila di konversi kedalam rupiah.
Dengan demikian jelaslah bahwa kegiatan Jaminan Kualitas Radiodiagnostik sangat dianjurkan untuk dilaksanakan secara berkala dan terus menerus.
Perkembangan Teknologi Radiografi khususnya perkembangan jenis kontak film screen yang mutakhir yaitu kontak film screen jenis rare earth  dengan green emited telah diterapkan di Instalasi radiologi, konsekwensinya harganya relatif lebih mahal dibandingkan dengan jenis blue emitted begitu pula film yang dipakai harus diganti dari jenis film blue sensitif menjadi film  green sensitif yang juga harganyapun relatif lebih mahal. Namun demikian keuntungan pemakaian kombinasi kontak film screen jenis green emited dengan film green sensitif dibandungkan dengan pemakaian kombinasi kontak film screen dengan film blue sensitif adalah pemakaian faktor ekposure untuk pemeriksaan radiografi menjadi lebih kecil, yang berarti selain dosis radiasi yang diterima pasien jauh lebih berkurang juga pembebanan pesawat menjadi lebih rendah.
Tentang rujukan ataupun acuan tindakan keselamatan dan kesehatan kerja dengan radiasi, selama ini masih mengacu kepada Undang-undang No 31 tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom serta Surat Edaran Dirjen BATAN No PN 001/92/DJ/87 tentang Pedoman Keselamatan Kerja dengan zat Radioaktif dan atau sumber radiasi lainnya. Sampai saat ini belum dimiliki buku Undang-Undang No10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran sebagai pengganti Undang-Undang No 31 Tahun 1984. Begitupula buku rujukan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja dengan radisi yang diterbitkan oleh IAEA ( International Atomic Energy Agency ) dalam bentuk buku Basic Safety Report dan yang terbaru adalah Basic Safety No 115, termasuk didalamnya Refereal Dose untuk setiap pemeriksaan dengan radiasi sinar-X baik secara radiografi maupun fluoroscopy.
Mengenai Pelayanan Radiologi dipakai acuan Undang-Undang No:23 Tahun 1997 Tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No 366/MENKES/PER/V/97 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Radiologi dan Keptusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 436/MENKES/SK/VI/1993 tentang Berlakunya Standar Pelayanan Rumah Sakit dan Standar Pelayanan Medik di Rumah Sakit.
Pendidikan dan Pelatihan bidang radiologi dan teknologi radiologi yang langsung dapat meningkatkan kualitas profesionalisme  tenaga kesehatan khususnya Radiografer sampai saat ini masih dirasakan sangat kurang, padahal sangat dirasakan perlunya, karena perkembangan Ilmu radiologi dan Teknologi Radiologi sangat pesat sehingga sulit untuk diantisipasi apabila tidak dilakukan dengan peningkatan kualitas radiografer melalui keikutsertaan di dalam pendidikan dan pelatihan bidang radiologi baik yang diselenggarakan oleh rumah sakit maupun oleh organisasi profesi radiografer. Keikut sertaan Radiografer hanya dalam kegiatan seminar atau Kongres Ahli Radiografi yang dilaksanakan oleh Profesi minimal satu tahun sekalai dan empat tahun sekali untuk Kongres Nasional.
PEMECAHAN MASALAH
Dari uraian mengenai identivikasi masalah yang dihadapi telah dilakukan upaya pemecahan masalah melalui beberapa alternatif yang dapat segera dilakukan diantaranya adalah :
  1. Perpanjangan Perizinan Pemanfaatan Pesawat Radiologi yang sekarang masih berlaku sampai ……………….. Th ………..
  2. Penyediaan alokasi dana melalui DIPA Poltekkes Kemkes Jakarta II yang diperuntukan untuk kalibrasi, pemeliharaan dan pengadaan alat dan bahan,agar pesawat selalu ddalam keadaan laik pakai.
  3. Dibentuknya Organisasi Proteksi Radiasi dengan Job decription yang jelas.
  4. SOP-SOP yang belum tersedia misalnya Keselamatankerja dengan Listrik, Bahan Kimia SOP untuk kejadian luarbisa, kebakaran, gempa dll
  5. Penambahan Phantom sebagai alat simulasi yang sampai saat ini dirasakan kurang memadai dalam jumlah yg tersedia.
  6. Penambahan alat roentgen baru yg lebih mutakhir, termasuk alat-alat USG, panoramic, Digital Radiologi.
  7. Membuat MOU dengan BAPETEN agar Institusi Pendidika Jur Tro dapat melakukan penyelenggaraan Pelatihan PPR secara berkesinambungan.
  8. Membuat MOU dengan Pelayanan Radiiologfi di Rumah sakit agar para dosen dapt melakukan magang untuk memperdalam wasan pengetahuan bidang radiology.
  9. Penambahan Alat diteksi dan Dosimetri radiasi, bila memungkinkan berupa TLD agar dapat dialkukan penelitian tentang penerimaan dosis intrance pada suatu pemeriksaan.
  10. Penambahan Alat dosimetri DLP., misalnya Diamentor
Alternatif pemecahan masalah perlu dikaji ulang agar dana yang tidak tak terbatas memang digunakan secara efekif dan efesien guna tercapainya pelayanan pendidikaan yang lebih bermakna dalam upaya pencapaian tujuan institusi pendidikan dan tujuan pembelajaran dalam rangka dimilikinya kompetensi setiap mahasiswa secara bertahap.






                          

0 komentar:

Posting Komentar